Minggu, 26 April 2015

Belenggu Dira & Dave

PART I (06/11/14)

"Perasaan itu gabisa dibohongin, hati itu gabisa dipaksakan" kataku.

Semenjak galau teramat sangat, aku seperti enggan berujung sulit membuka hati lebar-lebar hanya untuk seorang lelaki. Entah apakah ini sebuah trauma yang berkepanjangan atau sekedar perasaan saja aku masih belum memahaminya.

Seseorang itu sepertinya mengagumiku, aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya. Dia adalah Dave, teman baruku di Universitas. Menurutku dia cukup baik untuk ku ajak menjadi temanku, makanya sejak itu juga ku nobatkan Dave sebagai teman baruku. Perkenalan yang singkat itu menjadi berkepanjangan. Seperti biasanya aku tak memperdulikan sekitar, dengan acuhnya aku berlagak seperti tidak tahu apa-apa tentangnya. Sejak awal aku dan Dave hanya mengenal satu sama lain seperti layaknya dua individu bertemu dan berkenalan. Tak lama, Dave lebih sering menghubungiku. Dengan acuhnya aku selalu bersikap dingin merespon Dave yang lagi lagi terus menghubungiku tanpa henti. Sesaat aku terbawa suasana, kadang sosok acuhku mendadak hilang ditelan suasana, dan keadaan menjadi semakin hangat dengan sikap Dave yang bisa meluluhkan keadaan. Aku yang hanya menganggap Dave sebagai teman biasa, seolah lupa bahwa Dave berbeda. Dia tidak lagi menganggapku sebagai teman biasa dan aku kadang melupakan perbedaan itu, perbedaan yang mendasar didalam hati. Tapi aku masih tetap kukuh pendirian untuk terus mengacuhkan Dave, karena inilah aku dengan segala kekuranganku.

Tak ada, semakin hari aku semakin sangat acuh pada Dave. Tiba-tiba datanglah seseorang masuk kedalam cerita hidupku, namanya Jack. Sejak awal, dia sudah terlalu frontal memperlihatkan bagaimana dia menyukaiku. Aku yang sedikit risih dengan perlakuannya, mencoba untuk bersikap biasa saja dihadapannya.

Hari ke hari terus berlalu. Minggu ke minggu terus berlalu. Bulan ke bulan terus berlalu. Aku masih saja bersikap acuh tak acuh terhadap Dave, karena inilah aku yang sebenarnya, inilah perasaanku yang sebenarnya. Semakin lama, aku lebih sering bertemu Dave juga teman-temannya. Sesekali kita berpapasan atau bahkan tak sengaja bertemu ditempat yang sama, dan yang kulakukan hanyalah menatap sinis penuh candaan bahkan sesekali kita saling bertegur sapa. Tapi perasaa ini tetap sama, masih menganggap Dave hanyalah teman biasa, belum ada yang spesial di hati. Dengan kegigihan Dave, dengan sikapku yang acuh tak acuh, dengan sikapku yang dingin Dave masih bersikeras untuk terus mendekatiku dengan berbagai cara.

"Dirrrrrrrr, sini sombong amat" kata Dave.
Dan aku hanya membalas ajakannya dengan lambaian tangan dan senyum lebar.
"Dir, gue udah berbulan bulan ini mencoba membuat hubungan baik sama lo, dengan lo yang sangat teramat acuhin gue. Disitu gue bukan menyerah, tapi gue smkin usaha keras. Disisi lain, ada cewek yang suka sama gue, disitu gue punya dua pilihan antara gue terus perjuangin lo / gue deketin cewek yang emang dasarnya udah suka gue. Cuma lewat mimpi, Gue putuskan gue mau perjuangin lo, Dirrr"

dari waktu ke waktu, kami semakin cukup dekat hingga pada akhirnya timbulah perasaan yang sudah tak aneh lagi dirasakan remaja-remaja seusiaku.




-- Beberapa bulan kemudian -- (26/04/15)
Awalnya aku menjudge diriku sebagai sosok "traumatic". Tapi ternyata tidak, Dave dengan hebatnya menghilangkan traumaku membuka hati untuk oranglain. Entah dengan cara apa dan bagaimana bisa ternyata aku menyukai lelaki yang aku acuhkan mati matian.

-------


Dan dengan senang hati, Dira dan Dave kini bersama. Bahkan sudah terhitung berbulan-bulan mereka melukiskan kisah bersama di kanvas yang sama.

Seperti alurnya, kanvas itu kadang berwarna gelap mendung terkadang juga terang cerah. Tapi warna itu tetap melekat, tidak seperti pelangi yang indah dengan bermacam warna namun hanya sekilas.


------



With Love,


Dira & Dave