Jumat, 27 Juni 2014

Siapakah kamu?

Aku tidak benar - benar menyukaimu, sungguh.




Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya? atau pernah bertegur sapa? atau bahkan pernah bertemu denganmu sebelumnya?

Jujur saja, aku tak pernah mengenalimu sebelumnya. Bahkan tahu kau ada dimuka bumi ini saja aku tak dapat kabar apapun tentang itu. Mungkin kau terlahir dengan sendirinya dari rahim ibumu yang tak mengurusmu ditempat antah berantah yang tak banyak orang ketahui. Ketika suatu waktu kau tiba - tiba berada dihadapanmu, aku tak menghiraukanmu. Aku memilih bersikap acuh karena aku memang tidak mengenalmu bukan? Aku juga tak bisa menilai dirimu secara mendetail karena itu bukan keinginanku untuk menerka - nerka. 

Kau tahu, aku tidak benar - benar menyukaimu.
Mengapa belakangan ini kau selalu mengunjungi rumahku? atas dasar apa kau kembali terus - menerus seperti sesungguhnya persinggahanmu? aku tak pernah mengundangmu untuk datang kesini, bahkan kehadiranmu yang tak kuharapkan.


Mengapa kau selalu mengunjungi rumahku? Bahkan setiap hari kau berada disini. Sebenarnya tak apa, tapi jika sewaktu - waktu kau betingkah menyebalkan, detik itupun aku akan sangat membencimu. Tolong mengertilah bahwa aku tidak benar - benar menyukaimu.
Mengapa kau selalu mengunjungi rumahku? Bahkan aku tak pernah menyediakan tempat yang layak untukmu. Sekedar tempat yang hangat pun tak pernah. Aku tak pernah memberimu sedikit makanan saja, Karena hati kecilku tak merasa simpati kepadamu, Karena hati kecilku tak pernah berkata aku harus memberimu makan sekalipun minuman, kau sudah besar sepertinya kau bisa mencarinya sendirian dengan sepenuh tenaga yang kau miliki. Sudah kubilang aku tidak benar - benar menyukaimu, jadi berhentilah menaruh harapan. Tapi aku tidak benar - benar membencimu. 

Kau tahu, aku tidak benar - benar menyukaimu. Apalagi menjadikanmu bagian dalam hidupku, itu sangatlah tidak mungkin. Hanya saja sesekali kau menyita waktuku ketika paras indahmu sedang bersandar santai disana. Sungguh eloknya. Aku sesekali memandangmu hanya kekaguman sesaat, tidak benar - benar ingin melihatmu. Dan kau harus ingat, sama sekali tak ada niatan menjadikanmu bagian dalam hidupku. Itu tidak mungkin!

Aku sendiri sangat bingung mengapa sejak dulu aku tak pernah benar - benar menyukaimu. Bukan kau saja, sebangsamu juga sepertinya tak ada kemauan lebih untuk menganggapnya. Tapi ada 2 sebangsamu yang ku kenal dan ku ketahui, tapi tetap saja menyebalkan. Hanya saja aku pernah beberapa waktu lalu menjadikam sebangsa selainmu menjadi bagian dalam hidupku. Tapi itu tak bertahan lama. Waktuku tak cukup untuk selalu meluangkan waktu untuknya, pada waktu itu. 

Sewaktu ibuku seusiaku sekarang. Dia pernah menjadikan sebangsamu menjadi bagian dalam hidupnya. Bahkan sebangsa musuhmu. Tapi suatu kejadian membuatnya sama sepertiku, tidak benar - benar menyukaimu lagi.

Maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakitimu.
Aku sebenarnya tak peduli, jika kau menganggapku manusia tak punya hati. Atau mungkin kau menganggapku nenek sihir, atau manusia tidak penyayang. Tapi maafkanlah... Ini kenyataan. Aku tidak pernah benar - benar menyukaimu. Daripada aku harus berpura - pura menyukaimu dalam kemunafikan, lebih baik aku dingin kepadamu, bahkan sesekali tak menganggapmu ada disitu. 

Apakah kau mengetahui penyebab aku tidak benar - benar menyukaimu? Jika kau tahu, tolong beritahu aku.
Aku tak seburuk yang kau pikir. Aku masih punya hati nurani. Kau ingat kan? aku kadang terkagum - kagum padamu, jadi kau tahu kan aku juga tidak benar - benar membencimu?


Jika pesan ini sampai kepadamu, aku akan sedikit malu karena aku telah membicarakanmu disini. Tapi aku tersadar, jika pesan ini benar - benar sampai kepadamu, kau benar - benar tidak bisa membacanya.
Tapi sepertinya kau mengetahuinya, kucing. 

Aku tidak benar - benar menyukaimu dalam bentuk apapun itu. Entah kau berbulu tebal, berwarna kuning atau abu atau hitam atau putih, entah kau berparas elok, atau ekormu yang sangat bagus. Aku sungguh tidak benar - benar menyukaimu. Tapi aku tak pernah berani melukai hatimu atau fisikmu. Jadi terimalah pengakuan ku ini.

Aku tidak benar - benar menyukaimu, sungguh wahai kucing.


Salam Hangat,

Aku yang tidak benar - benar menyukaimu. 





Kamis, 26 Juni 2014

Pengabulan yang Tertunda

        Kegagalan dan kekecewaan itu satu paket. Sebut saja namaku Philips. Aku adalah seorang manusia berambut pirang yang dilahirkan dari rahim ibuku, Marine. Wanita hampir tua yang masih terlihat cantik dan awet muda masih sanggup mengandungku selama 9 bulan waktu itu. Sungguh sesuatu yang menakjubkan bisa dilahirkan didunia dari seorang ibu yang sangat menyayangiku dari aku masih didalam perutnya; Ibuku. Waktu berlalu begitu cepatnya hingga akhirnya kini aku berusia 17 tahun dan ibuku masih saja mengkhawatirkanku jika aku tidak ada berada disisinya. Tak banyak yang bisa kulakukan selama hidupku. Hanya sekolah dan mengikuti sedikit kegiatan - kegiatan disekolah dan selebihnya aku dirumah; bersama ibuku. Tapi ada sesuatu yang kusembunyikan rapat - rapat. Entah kejadian apa yang mempertemukanku dengan sesosok bayangan kasat mata, seperti anak kecil sekitar 10 tahun dan bukan manusia, Russel. Pasti kau mengerti siapa sebenarnya Russel.

        Terbilang sering bahkan selalu. Aku berdiam diri ditaman belakang. Aku anak tunggal dari pasangan Marine dan Josh. Aku terlahir tanpa saudara perempuan atau laki - laki disampingku; sendirian. Menjadi anak tunggal memang sedikit memuakkan, sesekali terlintas ingin mempunyai seorang adik atau kaka sekalipun orangtuaku mengadopsiknya, tak apa bagiku. Waktu luang ku habiskan ditaman belakang rumah, saat tak sadar aku hanyut dalam lamunanku aku melihat seseorang kasat mata menghampiriku. Dia Russel, entah darimana asalnya dan entah siapa orangtuanya yang jahat tak mencari anaknya yang sepertinya hilang dan nyasar itu.

        Russel, anak kecil yang sangat baik yang sudah kuanggap teman mainku, bahkan kuanggap adikku. Ibuku sesekali memarahiku karena aku tertangkap basah dengan berbicara sendirian. Waktu itu aku lupa, ibu tidak bisa melihat keberadaan Russel. Sampai detik ini, Russel anak kecil menggemaskan masih setia menemaniku.

        Libur telah tiba. Seharusnya dari jauh - jauh hari aku sudah mempersiapkan jadwal baruku selama liburan, tapi aku melupakannya. Terlalu banyak hal yang aku pikirkan dan aku lakukan hingga aku tak sempat membuat jadwalku selama liburan. Karena itu semua aku menjadi sangat bingung saat liburan tiba dihadapanku sekarang ini. Terlanjur tak membuat jadwal tidak membuatku tak melakukan apa - apa selama libur, aku berusaha melakukan sesuatu tanpa jadwal terlebih dahulu. Sesekali aku membantu ibuku merapikan rumah, karena rumahku cukup besar jika ditinggali 3 orang saja; beserta ayahku. Seusai aku membantu ibuku, kulangkahkan kaki menuju kamarku. Taukan kamu? kamarku penuh dengan barang - barang yang memang ku perlukan. Tak perlu aku keluar kamar jika aku hanya ingin minuman dingin disiang hari yang terik, tak perlu aku keluar kamar jika aku hanya ingin menonton tv atau memutar film, tak perlu aku keluar kamar jika aku hanya ingin berselancar diinternet. Bahkan sesekali Russel mengunjungi kamarku untuk sekedar bercengkrama. Ya mungkin itu penyebab mengapa aku lebih banyak menghabiskan waktuku dikamar sewaktu libur. Meskipun sesekali aku keluar kamar hanya untuk bertatap muka dengan ibu agar aku tak disangka sedang dilanda masalah. 


        Untuk main bersama teman - temanku rasanya tak mungkin. Karena pada liburan seperti ini mereka juga menghabiskan waktu penuhnya dengan keluarga. Entah hanya dirumah atau pergi keluar kota. Jadi sudah tak ada haparan lagi untuk mengisi liburanku bermain dengan mereka. Tapi itu bukan akhir dari segalanya, aku masih bisa melakukan banyak hal diluar itu. Aku mulai duduk dikursi bersejarah ini, kursi peninggalan kakekku dulu, sewaktu dia masih hidup. Dia menghadiahi kursi ini kepadaku, jelas aku selalu mengingatnya sewaktu aku duduk disini dihadapan komputerku. Aku mulai memutar otakku; sedikit kehilangan ide. Tiba - tiba aku tak sengaja melihat iklan baris di web yang aku buka, ternyata disitu tertera lomba menulis. Aku langsung berpikir kenapa aku tidak mencoba saja? walaupun menulis bukan seutuhnya bakatku, dan bukan seutuhnya hobiku tapi apa salahnya jika aku mencoba terlebih dahulu. 
Aku mulai penasaran dengan lomba tersebut, aku baca dengan seksama syarat - syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan kurasa cukup untuk aku mengerti lalu aku memulai semuanya.

        Selamat datang, kini duniaku adalah menulis. Sapaku tertuang kepada diriku sendiri. Kini aku melakukan kegiatan yang benar - benar ada tujuannya. Selain aku menambah - nambah pengalaman, sedikit keinginanku untuk memenangkan kontes ini; kurasa pesertanya pun sangat banyak. Dikepalaku sudah banyak ide - ide cerita yang akan tertuang didalam kotak entri blog post ini. Tak banyak waktu yang kubutuhkan, dalam hitungan menit 1 blogpost sudah kuselesaikan, wow! akupun tak sadar jika aku telah menulis sebanyak itu. Jemariku menari - nari tak kuasa diatas keyboardku. Mungkin otakku cukup cekatan meyalurkan impulsnya menuju jemariku. Seharian penuh yang kulakukan hanya menulis menulis dan menulis. Didalam tulisanku aku menceritakan diriku sendiri yang sangat ingin berlibur bersama ayah dan ibuku ke negeri Paman Sam. Aku juga menceritakan teman sekelasku Henddrick yang ingin kembali ke kota kelahirannya, Florida. Rose yang ingin pergi menjelajahi samudera sendirian. Wink yang ingin membeli sepaket bunga untuk seseorang yang ia cintai diam - diam. Tetanggaku yang tak pernah tegur sapa denganku dan tetangga lainnya. Ayahku yang selalu pulang larut malam berjuang dijalan yang benar mempertaruhkan nyawa hanya untuk mencari nafkah untuk keluarga. Pembantu didekat rumahku yang berusaha kabur karena kegilaan majikannya dan banyak lagi konflik - konflik sederhana yang aku tuangkan didalam tulisanku. 

        Tak terasa 1 bulan berlalu. Waktuku untuk menulis hampir habis. Aku harus menghentikan tulisanku karena nanti malam tepat pukul 23.00 kontes ini ditutup dan akan berakhir. Sampailah aku pada tulisanku ke 10 yang sudah ku publish. Lalu aku berdoa agar usahaku selama 1 bulan penuh ini membuahkan hasil yang memuaskan. Tak kusangka ternyata ada 2960 blogpost pesaingku; dan aku hanya bisa menghela napas panjang ternyata banyak sekali pesaingnya.


        "Pengumuman 75 besar akan diumumkan bulan ini" Aku mendadak tegang ketika aku mendapatkan kabar itu. Sedikit senang karena tak usah lama - lama lagi aku menuggu hasilnya. Sampailah pada hari dimana akan diumumkan 75 besar dari 2960, bila aku termasuk kedalam 75 besar itu sungguh keren bukan? aku bisa mengalahkan 2885 blog post yang belum beruntung. AH itu hanya khayalanku saja.

        "Henddrick dengan Floridanya" - "Seribu Cinta Wink" - "Kuberi Rinduku pada Paman Sam" 
Aku terkaget - kaget melihat 3 judul tulisanku ada dikolom itu. Ini sungguh bukan mimpi, ini nyata, aku sampai menampar pipiku keras - keras agar membuktikan bahwa ini tidaklah mimpi dan rasanya sangat sakit ditampar oleh tanganku sendiri. Jemariku mematung, mataku tak berkedip didepan halaman web pengumuman 75 besar. 3 dari 10 tulisanku masuk 75 besar  bukan hal biasa yang aku dapatkan ini adalah sesuatu yang membuatku merasa berpacu dengan waktu. Usahaku 1 bulan penuh untuk menulis 10 tulisan ternyata tidak sia - sia begitu saja, Syukurlah.

        Bulan berikutnya pengumuman 30 besar dibuka. Aku sudah mematung dari satu jam sebelum pengumuman itu muncul; aku sangat penasaran. Tibalah waktunya 30 besar tulisan - tulisan dimunculkan. Satu kali aku mencari ternyata tak ada judul tulisanku, aku sedikit tak percaya hingga aku merefresh halaman webnya 3 kali ternyata benar judul tulisanku tak lagi ada dihalaman web ini. Aku gagal dan aku kecewa.

        Beberapa waktu aku tak ingin menulis lagi karena kesan pertama menulisku mendapat kegagalan setelah beberapa silam mendapat kebahagiaan. Hanya untuk berbicara dengan Russel yang mengiburku saja aku tak mau. Aku benar - benar ingin sendiri. Kini liburanku hanya kuisi dengan bermain ditaman belakang rumahku, disana aku bisa membaca koleksi buku baru yang ayahku beli untuk stok liburan. Sangat kecewa hingga aku tak mau membaca ulang tulisanku.

         Hari - hari berlalu. Beberapa hari ditaman belakang rumah membuat pikiranku sedikit lebih tenang dan aku mulai membuka pintu hatiku dari kekecewaan. Aku kembali membaca ulang tulisan - tulisanku dan aku juga membaca tulisan - tulisan para finalis 30 besar. Banyak pelajaran yang bisa kutemukan disana.
Tiba - tiba Russel tak bosan - bosan menghampiriku dan duduk disebelahku. Dia menceramahiku seperti umurnya yang sudah paruh baya, padahal dia masih sangatlah bocah, aku diceramahi oleh seseorang yang berusia 10 tahun. Sungguh membosankan. Tapi setelah ku pikir ulang, dari semua celoteh yang keluar dari mulut mungilnya aku mulai belajar dan memahami; Dari mulai aku harus bersikap dewasa menghadapi kegagalan. Aku harus bersikap lapang dada dan ikhlas jika aku telah gagal. Lalu membiasakan tak memendam lama - lama rasa kekecewaanku terhadap sesuatu. Dan aku tersadar aku tidak lebih dewasa dari bocah 10 tahun, Russel. 

        Aku memaku diriku dihadapan cermin. Menatap diriku sendiri penuh makna. Ibuku melahirkanku dengan susah payah. Tuhan menciptakanku dengan sedemikian rupa kekurangan - kelebihanku. Semesta menerimaku dengan lapang dada. Aku mungkin tak seburuk yang aku bayangkan. Masih ada sisi baik yang dapat aku berikan kepada ayah ibuku, kelak nanti. Mungkin itu memang ada benarnya. Tiada keberhasilan tanpa usaha, tiada keberhasilan tanpa kegagalan sebelumnya. Mungkin aku memang harus gagal saat ini, dan membuatku semakin semangat untuk menulis lebih baik lagi. Mungkin Tuhan percaya bahwa aku harus berusaha lebih keras lagi tanpa mengeluh sedikitpun. Mungkin kesan pertamaku menjadi sebuah acuanku kedepannya dan aku tidak cepat puas. 
Satu hal yang kuingat, aku bukan sekedar gagal tapi pengabulan doaku sedikit tertunda.

Salam Hangat,
Perempuan yang akan berusaha lebih keras lagi, Philips.

Sabtu, 21 Juni 2014

Perasaan tak Bertuan

Masa itu, dimana aku dengan keingin tahuanku; beradu pikiran dengan diriku sendiri walau sebenarnya fokusku tak menuju kesitu namun tampak samar. Dengan segala yang aku tau, aku seakan memvonis diriku sendiri dalam belenggu yang menyulitkan. Imajiku kurang cermat dalam mengikuti gerak-geriknya yang tak jauh aku selalu ketinggalan lagi lagi tertinggal jauh tanpa jejak, pun jejak kakinya.

Masa itu, dimana aku hanya beradu pada semesta yang membisu dan menjawab dengan geraknya seperti biasa; atau bahkan dengan benda-benda mati yang berdiri tanpa lelah disekelilingku. Begitu kuat dan tangguhnya mereka, hingga usang terus berdiri tegap sampai segelintir rayap kadang mencicil membuatnya hampir rapuh dan kehilangan pondasinya. Lalu kulontarkan petanyaan "apa kekuatan ini juga tercicil rapuh dilahap rayap dan dimakan usia?"

Masa itu, dimana bau menyengat kertas yang tergulung berisikan serbuk-serbuk yang memercikkan api. Lagi-lagi aku terkejutkan oleh bunyi petasan. Jarak yang cukup dekat dengan keberadaanku, tetaplah terdengar nyaring dan bau kertas terbakar itu melintas cukup lama dihidungku. Sedikit merasa terganggu dan menghapus seketika konsentrasiku. Aku sama sekali tak tertarik dengan permainan yang sama sekali tak ada keuntungannya itu.

Masa itu, dimana aku dengan percaya dirinya berkata 'aku sayang dia' dengan bodohnya dan entah apa yang mendasari diriku sampai aku bisa melontarkan kata-kata itu dari mulutku. Tanpa tau definisi apa yang sebenarnya, tanpa tau apa sebab yang mengkuatkan kata-kata itu. Setelah ku ingat-ingat lebih dalam ternyata hanya karena aku menyukainya. Cukup bodoh jika ku ingat lagi sekarang.

Masa dimana banyak hal-hal konyol yang kuingat semasa itu dan membuatku semakin ingin tahu definisi-definisi yang semasa itu kuanggap hanya kata lewat saja.  Jatuh bangun bukan hal asing dalam hidupku, walau lebih sering jatuh ketimbang bangun, tapi banyak makna dibalik jatuh bangun semasa itu, dan makna itu terasa sekarang. Masa itu aku dibuat terpaku dalam waktu. Seingatku, semasa itu aku sering menangis. Umurku memang belum cukup siap untuk menghadapi gertakan-gertakan yang menimpa, hingga akhirnya sulit untuk membendung awan mendung dikelopak mata ini. Mungkinkah semasa itu aku adalah manusia lemah ataupun cengeng? Biarlah....

Beberapa waktu lalu, aku menangis pilu. Meneteskan air mata disela jemari sambil kedua tangan menengadah menghadap Tuhan. Itu menangis yang menyesakkan, pun memilukan. Meski menangisi kesalahanku yang entah itu aku salah atau tidak dimata-Nya. Bukan perasaan kalut ataupun galau, atau bahkan putus cinta, itu bukti penyesalanku, dan merasa bersalah atas aku yang begitu teganya melukai.

Kuingat terus-menerus kekonyolan semasa itu, lalu kubandingkan dengan saat ini dan hasilnya mengapa begitu sulit mengakui apa yang aku kehendaki?
Aku berusaha menjajal gengsi tinggiku, aku bermatut dihadapan cermin pikirku aku bisa tanyakan diriku sendiri. Tak semudah apa yang dikatakan "Tanya pada diri sendiri"
Apa yang patut ku tanyakan? siapa yang akan menjawabnya? Aku saja tidak tahu, kenapa harus aku menanyakan pada diriku sendiri yang jelas-jelas logikaku tak tahu apa-apa bahkan sulit menerjemahkan.

Lalu pada siapa lagi aku harus bertanya? apa aku harus mengikuti serangkaian tes-tes tentang yang bersangkutan dengan isi hati dan pikiranku? sebodoh itukah? Kenapa semasa itu dengan mudahnya kulontarkan kalimat itu kepada seseorang yang mungkin hanya kukagumi bahkan cinta-cinta monyet yang memusingkan. Kenapa sekarang tak semudah menyadari itu semua?

Kutanyakan lagi pada siapa? Pada ribuan bintang yang menghiasi langit malam ini? yang katanya langit atap harapan. Meski ku tunggu jawabannya padamu wahai bintang dan bulan, sebentar lagi matahari akan muncul melenyapkan kegelapan. Rasa lapar pun tak mampu menjawabnya.

Apa aku harus kembali keawal mengenali diriku dulu, lalu melewati masa-masa pendekatan dengan diriku lalu aku baca pikiran diriku, atau aku mendesak diriku agar diriku dapat bercerita sedikit demi sedikit tentang rahasia-rahasia dalam diriku? Haruskah aku lakukan itu?

Sebenarnya ini bukan masalah yang harus kubesar-besarkan dalam pikiranku, tapi lagi-lagi seakan ada yang mendesakku untuk segera mengetahui siapakan Tuannya?
Rasa penasaran hilang terhambar suasana. Sesekali rasa lapar diperut tak menghalangiku untuk terus penasaran, bahkan rasa pusing dikepalaku tak habis beradu ego dengan penasaranku.
Rasa itu telah lewat tanpa kusadari atau menjelma menjadi sosok lain
Kurasa tak bertuan tak masalah
Yang bermasalah adalah rasa keingintahuanku... Beritahu aku kepada siapa lagi harusku tanyakan perihal ini?




Sabtu, 07 Juni 2014

Lalu Kukatakan ini Biarlah


Panas yang terik. Alunan angin menyapu dedaunan, dedaunan beradu menghasilkan suara yang khas disitulah aku berdiri. Memandang awan biru muda, dengan cuaca yang cerah disitulah aku mengadu. Hanya terdapat aku, seperti burung yang meninggalkan sayap-sayapnya. Pada siapa aku berlabuh? pada siapa ku tambatkan hati ini?
Aku seperti kapal yang porak poranda. Mungkin ulahku ini mengacaukanku. Seperti boomerang yang menyapu bersih diriku sendiri.
Lagi lagi, Aku. Aku ingin berhenti, tapi aku tak tahu apa yang harus kuhentikan. Aku yang memulai, tapi aku tak kuat untuk terus berjalan terlalu jauh dengan jarak yang tak ditentukan. 
Sampai kapan cerita ini akan terus teruntai? Sampai dimana kesanggupan itu ada? Dimana harus kucari kuncinya? Lalu ku ulangi, pada siapa aku harus berlabuh? Tolonglah aku…
Mungkin beberapa pasang mata diluar sana menganggapku manusia madar. Semua orang berhak memberi penilaian. Tapi sebelum mereka menilaiku, kau sebaiknya telusuri apa penyebabnya. Dimana ada akibat, pasti sebelumnya terdpat banyak sebab. Atau bahkan mereka menganggapku bodoh karena aku tak bisa membuka pintu ini. Dan yang untuk kesekian kalinya. Tapi ini bukan keinginanku, Aku mohon mengertilah…
Mungkin pengaduanku bersifat percuma, semuanya sudah terlanjur. Tapi yang terlanjur itu jangan dibiarkan terlanjur. Seperti terlanjur tenggelam dalam lumpur hidup, apa aku harus diam hingga aku ‘terlanjur’ tenggelam smakin dalam? atau aku harus segera bangkit dan mencuci semua lumpur itu dengan air bersih? Lagi lagi hidup itu perlu pilihan. Tak bisa keduanya ku lakukan secara bersamaan. 
Kadang hipotalamusku berkata agar aku menyampaikan pesan itu dengan segera. Tapi dibalik itu, hati berkata lain. Seakan hati sesekali menunda untuk jangan menyampaikan pesan itu terlalu cepat. 
Rasa sayang itu mungkin bisa diungkapkan. Tapi jika ada yang bilang ‘sayang banget’ itulah yang harus dipertanyakan. Karena ‘sayang’ itu adalah mendoakan agar lebih baik, dan ‘cinta’ itu adalah membimbing ke arah yang lebih baik.
Tapi pesan itu sudah kusampaikan dengan sebaik mungkin. Berharap pihak itu menerima dengan sangat lapang dada dibarengi dengan Ikhlas. 
Semua yang terjadi atas kita, kalian, kamu bahkan mereka semua sudah tertulis disebuah kitab yang bernama Lauhal Mahfudz. Tapi bukan berarti kita berhenti meminta karena nasib kita sudah tertulis lengkap oleh sang maha Pencipta, kita masih dituntut untuk selalu berdoa, meminta dan memohon. Semua yang terjadi tidak ada yang kebetulan, karena semuanya atas izin Allah. 
Kita hanya bisa menduga-duga. Kadang kita kesal, merasa mendapatkan sesuatu yang tidak adil, tapi secara tak sadar keadilan itu sudah tertegakkan untuk kita. Hanya kita kadang tak sadarkan itu. 
Kau akan bahagia. Pasti!
Jika kamu sudah berusaha keras dan apa yang kamu minta belum kamu dapat, Allah sudah mengganti itu semua dengan yang lebih pantas menurut-Nya.
Mengesampingkan hati yang sudah hampir sayang walau ragu. Memaksimalkan otak yang sudah ingin berkata tidak untuk saat ini tapi tau jika sukses itu akan lebih membahagiakan.
Aku tak memilih otak. Aku juga tak memilih hati. Aku berikan pengertian pada otak, lalu aku berikan pengertian pada hati dan berharap itu akan sejalan. 
Setiap apapun yang kita lakukan, setiap keputusan apapun yang kita ucap terdapat hikmah dibaliknya. Namun tak semua orang bisa menemukan hikmah itu, hanya orang - orang yang bersyukur yang menyadari akan hikmah yang menghampiri. 
Mungkin hari ini aku bersedih, lalu merasa bersalah. Tapi esok, takan lagi. Hal itu jadikan pelajaran kedepannya, dan bukan untuk dilakukan lagi.
Tangisan itu jatuh tak sengaja saat aku mengadu pada Sang Pencipta alam semesta ini. Biarlah mungkin aku lelah menahannya.. 


Ini sudah jalannya. Setelah ini akan ada hikmahnya. Entah itu hal baik atau buruk yang akan datang kepada kita. 
Lalu kukatakan biarlah…
Biarlah aku pasangkan sayap - sayapnya lagi. Agar aku bisa terbang bebas menghirup udara alam semesta.
Cerita itu akan ku simpang erat - erat dalam benakku.
Biarkanlah….
Biarkanlah aku berlari seperti kereta kuda dalam dekapan tali-tali. Berlari tanpa henti, dan ku kejar semua mimpi - mimpi.
Jika cinta itu akan datang dengan sendirinya. Aku takan menjemput cinta itu sekarang. Tapi nanti…
Saat aku telah menjemput kesuksesanku.
Biarkanlah aku pergi… bertapak diatas kerasnya bumi ini. 
Berjalan dibawah untaian awan - awan.
Bertahan dalam dekapan angin yang menusuk ke dalam ulu hati.
Biarkanlah…
Aku dan kamu akan bahagia, walau bukan saat ini.


Kamis, 05 Juni 2014

Apapun itu, Percayalah

Terimakasih
Bersikap egois
seakan pemenangnya
tapi mampu, berkata ‘Ya’
hanyalah manusia biasa
keramaian perdana
5 tangkai

Aku mampu menggapai
Awalnya sulit
cukup enggan, namun mau
tapi melepuh
mencair, melebur memapar keadaan

aku yakin bisa
meski bertahap
hampir sempurna
Terimakasih


Sedari itu, ku putar seluruh pemikiranku. Ini bukan saatnya lagi aku egois, bukan saatnya aku hanya memikirkan egoku saja. Banyak yang harus aku pertimbangkan lagi. Meski harus beradu dengan hipotalamus, aku melawan.
Walaupun pada kenyataannya, tak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Rasakan sedikit saja, aku tak akan berlebih, karena terlalu banyak itu akan menjadi boomerang. Sedari itu....

Sedari itu
Jatuh dan tertimpa
membuat semakin kecil didunia
semesta tahu
namun ia membisu
terlalu gamang melangkah maju

angin berhembus bagaikan intuisi sesekali
dibuat nanar oleh keadaan
relung ini tak terukur
hipotalamus mengadu
seperti kupu - kupu yang baru bisa terbang
dipaksa melawan kerasnya kenyataan

ada yang begitu madar
namun berparas rona
membuat ternganga
dinding ini saksi bisu

kepakkan sayap - sayap itu
menghirup kejamnya dunia
yang sebenarnya fana
sedari itu
kami kembali menyatu dengan semesta


Serahkan saja pada keadaan. Itu akan jauh lebih baik dari yang direncanakan. Kadang semua tak akan sesuai dengan apa yang kita bayangkan, inilah hidup yang penuh dengan misteri - misteri. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri. Mampu bertahan disuatu keadaan, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Lalu biarkanlah...

Biarkanlah
Jangan kau ukir terlalu dalam
ibaratkan luka yang sulit disembuhkan
jangan kau ukir cerita terlalu banyak
ibaratkan memorimu berpacu
ukiranmu menyakitiku
ukiranku menyakitiku
biarkanlah…

bagai pacuan kuda berlari
sekencangnya hingga lelah
sayangnya…

tak tahu apa yang ia tuju
berlari sekencang - kencangnya
tanpa tahu apa yang sedang diperjuangkan
tanpa lelah terus berpacu
hingga pelanamu aus
bergesekan dengan kerasnya jalanan
seperti kerasnya hidup
seperti menggantungkan mimpi diatas awan
sulit untuk digapai

ketakutan itu tercipta
entah siapa yang menciptakan
sepasang belalang
memangsa satu sama lain
apa hati mereka membeku?
biarkanlah…

Angin, hujan, matahari
peranmu berlawanan
kau selalu menjadi saksi
saksi bisu tentangku
Selamat tinggal…
Untuk selamat datang