Sabtu, 21 Juni 2014

Perasaan tak Bertuan

Masa itu, dimana aku dengan keingin tahuanku; beradu pikiran dengan diriku sendiri walau sebenarnya fokusku tak menuju kesitu namun tampak samar. Dengan segala yang aku tau, aku seakan memvonis diriku sendiri dalam belenggu yang menyulitkan. Imajiku kurang cermat dalam mengikuti gerak-geriknya yang tak jauh aku selalu ketinggalan lagi lagi tertinggal jauh tanpa jejak, pun jejak kakinya.

Masa itu, dimana aku hanya beradu pada semesta yang membisu dan menjawab dengan geraknya seperti biasa; atau bahkan dengan benda-benda mati yang berdiri tanpa lelah disekelilingku. Begitu kuat dan tangguhnya mereka, hingga usang terus berdiri tegap sampai segelintir rayap kadang mencicil membuatnya hampir rapuh dan kehilangan pondasinya. Lalu kulontarkan petanyaan "apa kekuatan ini juga tercicil rapuh dilahap rayap dan dimakan usia?"

Masa itu, dimana bau menyengat kertas yang tergulung berisikan serbuk-serbuk yang memercikkan api. Lagi-lagi aku terkejutkan oleh bunyi petasan. Jarak yang cukup dekat dengan keberadaanku, tetaplah terdengar nyaring dan bau kertas terbakar itu melintas cukup lama dihidungku. Sedikit merasa terganggu dan menghapus seketika konsentrasiku. Aku sama sekali tak tertarik dengan permainan yang sama sekali tak ada keuntungannya itu.

Masa itu, dimana aku dengan percaya dirinya berkata 'aku sayang dia' dengan bodohnya dan entah apa yang mendasari diriku sampai aku bisa melontarkan kata-kata itu dari mulutku. Tanpa tau definisi apa yang sebenarnya, tanpa tau apa sebab yang mengkuatkan kata-kata itu. Setelah ku ingat-ingat lebih dalam ternyata hanya karena aku menyukainya. Cukup bodoh jika ku ingat lagi sekarang.

Masa dimana banyak hal-hal konyol yang kuingat semasa itu dan membuatku semakin ingin tahu definisi-definisi yang semasa itu kuanggap hanya kata lewat saja.  Jatuh bangun bukan hal asing dalam hidupku, walau lebih sering jatuh ketimbang bangun, tapi banyak makna dibalik jatuh bangun semasa itu, dan makna itu terasa sekarang. Masa itu aku dibuat terpaku dalam waktu. Seingatku, semasa itu aku sering menangis. Umurku memang belum cukup siap untuk menghadapi gertakan-gertakan yang menimpa, hingga akhirnya sulit untuk membendung awan mendung dikelopak mata ini. Mungkinkah semasa itu aku adalah manusia lemah ataupun cengeng? Biarlah....

Beberapa waktu lalu, aku menangis pilu. Meneteskan air mata disela jemari sambil kedua tangan menengadah menghadap Tuhan. Itu menangis yang menyesakkan, pun memilukan. Meski menangisi kesalahanku yang entah itu aku salah atau tidak dimata-Nya. Bukan perasaan kalut ataupun galau, atau bahkan putus cinta, itu bukti penyesalanku, dan merasa bersalah atas aku yang begitu teganya melukai.

Kuingat terus-menerus kekonyolan semasa itu, lalu kubandingkan dengan saat ini dan hasilnya mengapa begitu sulit mengakui apa yang aku kehendaki?
Aku berusaha menjajal gengsi tinggiku, aku bermatut dihadapan cermin pikirku aku bisa tanyakan diriku sendiri. Tak semudah apa yang dikatakan "Tanya pada diri sendiri"
Apa yang patut ku tanyakan? siapa yang akan menjawabnya? Aku saja tidak tahu, kenapa harus aku menanyakan pada diriku sendiri yang jelas-jelas logikaku tak tahu apa-apa bahkan sulit menerjemahkan.

Lalu pada siapa lagi aku harus bertanya? apa aku harus mengikuti serangkaian tes-tes tentang yang bersangkutan dengan isi hati dan pikiranku? sebodoh itukah? Kenapa semasa itu dengan mudahnya kulontarkan kalimat itu kepada seseorang yang mungkin hanya kukagumi bahkan cinta-cinta monyet yang memusingkan. Kenapa sekarang tak semudah menyadari itu semua?

Kutanyakan lagi pada siapa? Pada ribuan bintang yang menghiasi langit malam ini? yang katanya langit atap harapan. Meski ku tunggu jawabannya padamu wahai bintang dan bulan, sebentar lagi matahari akan muncul melenyapkan kegelapan. Rasa lapar pun tak mampu menjawabnya.

Apa aku harus kembali keawal mengenali diriku dulu, lalu melewati masa-masa pendekatan dengan diriku lalu aku baca pikiran diriku, atau aku mendesak diriku agar diriku dapat bercerita sedikit demi sedikit tentang rahasia-rahasia dalam diriku? Haruskah aku lakukan itu?

Sebenarnya ini bukan masalah yang harus kubesar-besarkan dalam pikiranku, tapi lagi-lagi seakan ada yang mendesakku untuk segera mengetahui siapakan Tuannya?
Rasa penasaran hilang terhambar suasana. Sesekali rasa lapar diperut tak menghalangiku untuk terus penasaran, bahkan rasa pusing dikepalaku tak habis beradu ego dengan penasaranku.
Rasa itu telah lewat tanpa kusadari atau menjelma menjadi sosok lain
Kurasa tak bertuan tak masalah
Yang bermasalah adalah rasa keingintahuanku... Beritahu aku kepada siapa lagi harusku tanyakan perihal ini?




0 komentar:

Posting Komentar