Sabtu, 17 Mei 2014

Dimana salahnya?

      Kebaikan, ketulusan kesungguhan seseorang seringkali sulit untuk dipercaya bahkan sulit dihargai, tapi kenapa kejahatan selalu mudah mengelabui dan mudah untuk dipercaya? Seringkali sulit membedakan  mana yang sungguh-sungguh dan mana yang sebenarnya hanya bermain-main. Kebaikan nyaris penuh pengorbanan, terlalu banyak hal yang harus dilakukan sampai kebaikan itu terungkap, lain dengan kejahatan yang hanya dengan mudah dilakukan, tapi kenapa juga sulit untuk terungkapkan…

      Tak sadar apa yang dirasakan, bahkan tak tahu apa yang dirasakan, apa tak ingin tahu apa telah menimpanya tapi enggan menerima terkaan yang terkadang salah pada fokusnya. Bukan sekedar bayangan lagi yang nampak didepan, wujud nyata telah tampak, tapi tak berasa... atau akan telat merasakan.

      Apa takut membacanya? Ataukah tak ingin sama sekali membuka halaman depannya? Ada yang salah dengan covernya? Dengan singkat tak tertarik melihatnya? Tapi sampai kapan akan tahu apa isinya jika halaman depannya pun tak terbuka. Apa hanya dengan perkiraan? Atau simpang siur yang terdengar? Tanpa sedikitpun ingin tahu apa kebenarannya? Apa dengan synopsis yang kalang kabut dapat menyimpulkan semua pertanyaan itu…. Kurasa tidak.

      Apa salahnya melihatnya sedikit saja, sedikit tapi fakta. Mungkin meyakinkan. Tapi itu tak mungkin sejalan, apa yang dirasakan dengan apa yang dipikirkan. Mengapa dibiarkan tak sejalan? Tak banyak berpikir. Tak akan temukan ujung jalannya, jika hanya terus bertanya. Sesekali tak berpikir, seolah mengalir seperti air, dibalik itu… ada yang harus dipikirkan baik-baik sampai pada akhirnya masalah terpecahkan. Tapi selalu bertekad menolak. Menutup, tak dapat celah. Pemikiran bodoh. Dipikirkan atau dirasakan? Bukan bingung, tapi hanya tak tahu apa apa. 

      Keadaan memaksa untuk tak mencoba, entah ego yang membuat enggan melangkah. Tak mau bila harus tumpahkan keluh kesah tak ada ujungnya. Padahal semua penuh dengan pilihan, ya atau tidak sama sekali. Berat berkata jujur pada diri sendiri, berat pula menanggung kebodohan bila terlalu lama dibiarkan begitu saja. Enggan mengakui... bukan enggan mengakui, tapi tak mengerti. Tak bisa mengendalikan diri, apalagi memahami.


     Apa nanti kata maaf akan cukup? 
Biarkan aku menulis tanpa kau mengerti apa maksudku…
Tak ingin siapapun ada yang mengerti tentang tulisan ini, karena hanyalah luapan semata…

0 komentar:

Posting Komentar